Permen Jahe bagian 1

Terdengar sepeda ontel bapak dari kejauhan memasuki pagar rumah yang tidak pernah dikunci. Beliau selalu membunyikan bel sepedanya jika memasuki pagar rumah. Alasannya agar semua orang dalam rumah mendengar kedatangan bapak. Dan kami anak-anaknya, biasanya akan berebutan bergegas menyambut. Ada yang sibuk membawakan tas bapak, ada pula yang sibuk menanyakan oleh-oleh. Dan yang ini adalah kesukaanku. Paling sibuk mencari kantong plastik bungkus oleh-oleh.

Seperti siang ini, bel sepeda bapak terdengar. Aku sedang membaca majalah kesukaan dengan tiduran, berlari menghampiri. Nuning adikku hanya melihat sekilas. Ia masih asyik dengan boneka, tak ingin ikut menyambut. Hanya aku dan mbak Murti yang berlari menuju pintu.

Takzim kami berdua mencium tangan bapak. Mbak Murti mengambil tas beliau. Aku seperti biasa mencari bungkusan kue. Ibu yang ada di ruangan tengah sedang menjahit, hanya tersenyum melihat tingkahku.

“Bapak nggak bawa kue ya?” polos aku bertanya memastikan kebiasaannya yang selalu membawa oleh-oleh.

Mataku masih celingukan mencari bungkusan yang mungkin saja masih menggantung di stang sepeda ontel bapak.

Bapak tersenyum mengelus kepalaku. “Bapak nggak bawa kue hari ini. Hanya bawa permen. Lisa mau?” Tangan keriput bapak merogoh kantong saku celana bagian kanan. Mengambil sebungkus permen yang disimpan dalam plastik. Ada banyak permen aku lihat. Terbungkus dengan plastik warna oranye dan plastik putih setiap permennya. Bercampur jadi satu. Permen yang dibungkus warna oranye adalah permen warna hitam, rasanya lebih pedas dari permen jahe.

“Wah, permen apa itu, Pak?” tanya mbak Murti setelah meletakkan tas kerja Bapak ke meja seperti biasanya.

Aku hanya melihat sekilas seplastik permen punya bapak. Dari bungkusnya aku bisa menebak kalau permen itu adalah permen yang selalu di kantong. Tak berminat untuk meminta, aku kembali menekuni majalah kesyanganku. Membacanya sambil tiduran.

Bapak mendekatiku. Tahu jika aku hanya menyukai permen tertentu. “Nggak pengen permen, to, Nduk? Ini permen biar badanmu anget.” Bapak mengambilkan dua jenis permen untukku, “ini permen jahe, Nduk. Biar badanmu anget dan sehat.”

Mataku melirik permen yang diletakkan dekat majalah. Bapak kemudian berdiri masuk ke dalam. Mbak Murti sangat suka permen jahe ini. Rasanya yang pedas di lidah sering membuatku enggan menerimanya, sebetulnya. Tapi nggak enak hati mengatakan tidak mau sama bapak. Jadi setiap dapat permen ini, aku pasti akan membuangnya. Menyimpannya di tempat sampah agar beliau tidak tahu.

Segera kumasukkan dua permen ini ke saku. Mbak Murti yang sudah hapal kebiasaanku berteriak. “Bapak, permennya akan dibuang oleh Lisa!”


Aku melotot memandang mbak Murti. Kadang-kadang mbakku yang satu ini susah diajak jaga rahasia.  


Bersambung...


#OneDayOnePost

Share:

2 komentar